ISUPUBLIK.ID – Aceh Jaya kembali berada di pusaran konflik agraria. Dalam dua tahun terakhir, ketegangan terkait penguasaan lahan mencuat di berbagai wilayah, mulai dari lahan garapan rakyat yang diklaim perusahaan, aset desa yang dijual diam-diam, hingga tumpang tindih lahan transmigrasi yang kini diduga telah dikuasai oleh pihak luar. Semua ini memperlihatkan rapuhnya sistem pertanahan di kabupaten ini.
Sengketa antara warga Desa Reuntang, Kecamatan Darul Hikmah dengan PT Makmur Inti Sawita (MIS) menjadi salah satu contoh paling mencolok. Warga mengklaim memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM), namun perusahaan justru mendapatkan HGU di atas lahan yang sama. Warga telah menempuh jalur hukum, tetapi mereka juga mendesak agar Satgas Mafia Tanah turun tangan mengusut kejanggalan penerbitan izin tersebut.
Masih di sisi barat Aceh Jaya, publik dikejutkan oleh dugaan penjualan tanah desa seluas 335 hektare oleh keuchik Alue Meraksa, Kecamatan Teunom. Nilai transaksinya mencapai miliaran rupiah. Ironisnya, warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses tersebut. Kini, masyarakat menuntut transparansi dan meminta pemerintah menonaktifkan kepala desa tersebut sembari mendorong proses hukum yang adil.
Di wilayah Panga, tepatnya Gampong Gunong Buloh, konflik lahan juga terjadi di kawasan wisata Laot Bhee. Seorang warga melayangkan surat keberatan kepada keuchik atas klaim kepemilikan sepihak yang muncul belakangan.
Sementara itu, di Kecamatan Krueng Sabee, ketegangan antarwarga muncul antara Desa Padang Datar dan Ranto Panyang. Kedua desa berselisih terkait batas wilayah dan kawasan garapan di perbukitan. Situasi ini menyulut gesekan sosial yang dikhawatirkan dapat berkembang menjadi konflik horizontal apabila tidak segera dimediasi.
Tak kalah serius, warga Kecamatan Setia Bakti kini mempertanyakan pengelolaan lahan eks-transmigrasi lokal yang seharusnya menjadi hak petani desa. Lahan tersebut kini diduga telah berpindah tangan ke pihak luar. Hal ini menunjukkan bahwa kawasan transmigrasi pun telah menjadi ruang abu-abu praktik jual beli lahan secara ilegal.
Dan kasus agraria bukan hanya yang sedang terjadi saat ini namun masih banyak kasus agraria lainnya yang sekarang belum terungkap dan viral di tengah masyarakat Aceh Jaya.
Ironisnya, di tengah berbagai persoalan tersebut, pemerintah daerah baru merespons secara administratif lewat Surat Edaran Bupati yang menghentikan sementara penerbitan surat keterangan tanah dan sporadik oleh keuchik. Langkah ini patut diapresiasi, namun belum menyentuh akar persoalan yang sebenarnya bersifat sistemik dan struktural.
Tantangan Struktural: Tanah Jadi Aset Siapa?
Konflik-konflik di atas menunjukkan pola yang berulang:
* Lahan yang dikelola warga secara turun-temurun tiba-tiba diklaim oleh pihak lain.
* Dokumen sah rakyat kalah oleh surat baru yang diterbitkan dalam diam.
* Tanah desa diperjualbelikan seolah milik pribadi.
* Transmigrasi berubah fungsi jadi ajang spekulasi tanah.
Semua ini terjadi karena lemahnya pengawasan, belum adanya digitalisasi data pertanahan, tumpang tindih batas wilayah, serta tidak adanya transparansi dalam pengelolaan aset publik.
-Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah Daerah?
Penulis berpandangan, jika Pemkab Aceh Jaya benar-benar ingin menghentikan eskalasi konflik agraria, maka langkah-langkah berikut harus segera dilakukan:
1. Audit menyeluruh seluruh surat keterangan tanah, sporadik, HGU, dan SHM di wilayah konflik.
2. Bekukan kewenangan aparatur desa yang terbukti menyalahgunakan mandat untuk menerbitkan atau menjual tanah tanpa prosedur.
3. Membentuk Satgas Reforma Agraria Daerah, melibatkan BPN, kejaksaan, LSM, akademisi, dan tokoh masyarakat.
4. Bangun sistem digital pertanahan yang transparan dan bisa diakses publik, agar rakyat tahu status tanahnya dan dapat menghindari konflik.
5. Fasilitasi mediasi terbuka antar desa, seperti kasus Padang Datar–Ranto Panyang, untuk mencegah konflik horizontal meluas.
6. Digitalisasi data pertanahan desa, dan sistem pengaduan online yang terbuka untuk publik.
Tanpa keberanian mengambil langkah-langkah ini, konflik akan terus berulang dengan pola yang sama, hanya berganti nama dan lokasi.
Tanah bukan sekadar soal administrasi atau angka dalam sertifikat. Bagi masyarakat Aceh Jaya, tanah adalah sumber kehidupan, warisan generasi, dan simbol kedaulatan. Jika negara tidak hadir dalam melindungi hak-hak itu, maka rakyat akan merasa terasing di atas tanahnya sendiri.
Aceh Jaya membutuhkan reforma agraria yang lebih dari sekadar penerbitan sertifikat. Ia membutuhkan keadilan, keterbukaan, pengawasan, dan keberpihakan pada rakyat kecil. Hanya dengan itu, konflik agraria dapat dihentikan, dan pembangunan dapat berjalan tanpa mengorbankan hak-hak dasar masyarakat.
Redaksi ISUPUBLIK.ID mengajak seluruh elemen masyarakat, DPRK, Pemkab, hingga lembaga penegak hukum untuk bersama-sama menyelamatkan Aceh Jaya dari krisis agraria yang kian meruncing. Saatnya keberpihakan nyata untuk kesejahteraan rakyat.
Penulis: Tim Redaksi ISUPUBLIK.ID
Untuk opini, kritik, dan tanggapan, hubungi: [redaksi@isupublik.id]
Pewarta : Redaksi
Komentar