Opini
Home » Berita » Opini : Jejak Panjang Partai Politik Indonesia

Opini : Jejak Panjang Partai Politik Indonesia

Musrijal Lamkaruna,Mahasiswa Sarjana Teknik Sipil di Universitas Teuku Umar (UTU).(foto-Pribadi)

Oleh: Musrijal Lamkaruna

ISUPUBLIK.ID – Partai politik adalah jantung dari demokrasi, sekaligus cermin dari kehidupan berbangsa. Di Indonesia, keberadaan partai politik bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan, melainkan juga manifestasi dari keragaman pemikiran, keyakinan, dan kepentingan masyarakat yang begitu kompleks. Dari masa penjajahan hingga hari ini, partai politik telah memainkan peran penting dalam mengawal sejarah bangsa dalam berbagai bentuk, dinamika, dan tantangannya.

Bila sebagian dari kita mengenal partai politik hanya sebatas simbol pada surat suara lima tahunan, sejatinya perjalanannya jauh lebih dalam dan berliku. Ia lahir dari keresahan, tumbuh dalam tekanan, dan terus berubah mengikuti gelombang zaman. Bahkan di Aceh, sebuah provinsi di ujung barat Sumatra, partai politik lahir bukan dari proses politik biasa, melainkan dari proses damai setelah konflik bersenjata yang panjang.

Tulisan ini mencoba membawa pembaca menyusuri kembali jejak panjang partai politik di Indonesia. Dari masa awal pergerakan nasional, masa fusi partai saat Orde Baru, hingga hadirnya partai lokal Aceh sebagai bentuk pengakuan terhadap kekhususan dan perjuangan panjang rakyatnya.

Awal Mula Dari Organisasi Etnik ke Gerakan Politik

Warga Aceh Selatan Dikejutkan Gempa Magnitudo 5,2 

Perjalanan partai politik Indonesia bermula dari organisasi pergerakan di awal abad ke-20. Tahun 1908, Budi Utomo berdiri sebagai organisasi kaum terpelajar Jawa. Meskipun belum berorientasi politik secara langsung, ia membuka jalan bagi organisasi-organisasi lain yang lebih radikal dan massal.

Tak lama kemudian, muncul Sarekat Islam (SI) pada 1912, yang lebih terbuka terhadap massa bumiputera. SI bahkan sempat memiliki jutaan anggota dan menjadi kekuatan sosial terbesar kala itu. Kemudian, Partai Komunis Indonesia (PKI) berdiri pada 1920 dan menjadi partai komunis pertama di Asia di luar Uni Soviet. Disusul Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Soekarno pada 1927 dengan semangat nasionalisme yang membara.

Di masa penjajahan Belanda, pembentukan partai politik dianggap ancaman. Aktivis kerap dipenjara atau diasingkan. Namun justru dari tekanan itulah nasionalisme semakin kokoh, dan partai menjadi alat utama dalam memperjuangkan kemerdekaan.

Demokrasi Awal dengan Semarak, Tapi Rawan Konflik

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, semangat berpolitik meledak. Puluhan partai berdiri. Ideologi berkembang bebas: nasionalis, Islam, komunis, hingga sosialis. Masyumi, NU, PSI, PNI, PKI, Partai Buruh, dan banyak lainnya mewarnai dinamika politik.

Warga Aceh Jaya Keluhkan Jaringan Telkomsel Hilang Saat Listrik Padam, Yara Ikut Bicara

Pemilu pertama digelar pada 1955. Empat partai besar muncul:

PNI (Partai Nasional Indonesia), Partai Nasionalis yang didirikan oleh Soekarno

Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), Islam modernis,

NU (Nahdlatul Ulama), Islam tradisionalis,

dan PKI (Partai Komunis Indonesia),komunis, dengan basis tani dan buruh.

Sejumlah PJU Polres Aceh Jaya Dikabarkan Dimutasi

Namun sistem parlementer saat itu justru menciptakan instabilitas. Kabinet berganti hampir tiap tahun. Koalisi rapuh, elit partai terpecah, dan rakyat mulai lelah. Di sinilah muncul gagasan Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin, Semua Pusat ke Soekarno

Pada 1959, Soekarno membubarkan Konstituante dan menggantinya dengan sistem Demokrasi Terpimpin. DPR digantikan DPR-GR, dan partai-partai mulai kehilangan otonomi. PKI menjadi partai yang paling dekat dengan kekuasaan. Sebaliknya, partai seperti Masyumi dan PSI dibubarkan.

Soekarno ingin menyatukan bangsa dalam satu komando. Tapi justru ketegangan meningkat. Militer, ulama, dan kalangan nasionalis mulai khawatir. Titik balik terjadi saat peristiwa Gerakan 30 September 1965. PKI dituduh sebagai dalang, dan Soeharto mengambil alih kekuasaan.

Orde Baru, Penyeragaman dan Dominasi Tunggal

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dengan menjanjikan stabilitas dan pembangunan. Tapi yang terjadi adalah penyeragaman politik. Tahun 1973, melalui kebijakan fusi, partai politik dibatasi hanya tiga:

1. PPP (Partai Persatuan Pembangunan) – gabungan partai Islam,

2. PDI (Partai Demokrasi Indonesia) – gabungan nasionalis dan Kristen,

3. Golkar (Golongan Karya) – bukan partai, tapi kendaraan penguasa.

Golkar menang mutlak di setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997). Pemilu hanya formalitas. Partai oposisi tidak diberi ruang. Kritik dibungkam. Aktivis dibungkus dalam tuduhan makar. Politik menjadi sempit, sekadar pelengkap pembangunan.

Namun di balik “stabilitas” itu, tekanan sosial dan ekonomi menumpuk. Hingga akhirnya krisis moneter dan gerakan mahasiswa pada 1998 menggulingkan Soeharto. Era baru pun dimulai.

Reformasi, Demokrasi Terbuka, Politik Terfragmentasi

Reformasi membuka kembali kran demokrasi. Puluhan partai bermunculan. PDI Perjuangan muncul sebagai kekuatan utama, diikuti oleh Golkar yang masih bertahan. Kemudian lahir Partai Demokrat, PKS, PAN, PKB, Gerindra, NasDem, dan lainnya.

Pemilu kini terbuka dan kompetitif. Tapi tantangan baru pun muncul. Politik uang, pragmatisme koalisi, partai keluarga, dan minimnya kaderisasi. Banyak partai hidup hanya menjelang pemilu, lalu hilang tanpa jejak. Tapi meskipun demikian, demokrasi tetap berjalan.

Aceh dan Partai Politik Lokal: Hasil Perjuangan, Bukan Hadiah

Satu hal yang membedakan Aceh dari provinsi lain di Indonesia adalah hak untuk membentuk partai lokal. Ini bukan hadiah, melainkan hasil perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Perjanjian damai itu dituangkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam undang-undang tersebut, Aceh diberi wewenang membentuk partai politik lokal yang bisa ikut dalam pemilu di tingkat provinsi (DPRA) dan kabupaten/kota (DPRK).

Sejak saat itu, lahirlah berbagai partai lokal, seperti:

Partai Aceh (PA) – dibentuk eks-kombatan GAM, mendominasi Pemilu 2009 dan 2014.

PNA (Partai Nanggroe Aceh) – diprakarsai Irwandi Yusuf, eks Gubernur Aceh.

PDA (Partai Daerah Aceh) – berbasis pesantren dan kalangan ulama.

Partai SIRA (Suara Independen Rakyat Aceh) – berakar dari aktivisme mahasiswa dan sipil.

ABTT (Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa) – kecil, tapi fokus pada nilai moral dan etika Islam.

Partai lokal pada awalnya mendapat simpati besar. Tapi belakangan, dukungan publik mulai menurun. Banyak rakyat kecewa karena janji tak ditepati, konflik internal elite, serta kasus korupsi yang mencederai kepercayaan publik.

Penutup

Sejarah partai politik Indonesia bukan cerita tentang kemenangan atau kekalahan, tapi tentang perjalanan. Demokrasi tak pernah benar-benar final. Ia terus bergerak, bertumbuh, dan diuji oleh zaman.

Kehadiran partai lokal di Aceh menjadi pengingat bahwa politik bisa jadi jalan damai. Tapi politik juga bisa kehilangan makna jika dijalankan tanpa komitmen dan moral.

Sebagai generasi muda, kita punya tanggung jawab untuk tidak buta pada sejarah, dan tidak apatis terhadap masa depan. Karena sejatinya, masa depan politik adalah milik kita semua.

Referensi:

Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

MoU Helsinki, 2005

Kompas.id – “Demokrasi Indonesia dari Masa ke Masa”, 2023

Tempo.co – “Partai Lokal di Aceh: Antara Harapan dan Fragmentasi”, 2024

International Crisis Group, Aceh’s Political Landscape, Report No. 309, 2021

KPU RI – Data Pemilu 1955–2024
_____________

Tentang Penulis

Musrijal Lamkaruna, lahir di Desa Kuta, Pidie Jaya pada 10 Oktober 2002. Saat ini sedang menempuh pendidikan Sarjana Teknik Sipil di Universitas Teuku Umar (UTU).

Pengalaman Organisasi

Kepala Departemen Informasi dan Dokumentasi Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil UTU (2024–2025),

Penanggung Jawab Ketua Umum IPELMAJA Meulaboh (2023),

Sekretaris Umum IPELMAJA Meulaboh (2023–sekarang),

dan Ketua Komisi Pemilihan Raya Mahasiswa (KPRM) UTU tahun 2025.

Pendidikan dasarnya ditempuh di MIN Patek Patek, dilanjutkan ke MTsN 4 Aceh Jaya, dan SMKN 1 Darul Hikmah sebelum melanjutkan studi ke UTU.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Populer

01

Guru Adukan Masalah ke DPRK Aceh Jaya

02

Komisi IV DPRK Aceh Jaya Akan Kawal Masalah Persoalan Guru

03

Laka Maut di Aceh Jaya Satu Warga Meninggal di Tempat

04

Warga dan Aparat Hukum Tangkap Pencuri Baterai Telkomsel

05

Mobil Wakil Bupati Terlibat Laka Lalu Lintas Satu Warga Meninggal

SP4N LAPOR
error: Tidak Bisa Disalin