fotoISUPUBLIK.ID — Skandal jual beli lahan transmigrasi mencuat di Kabupaten Aceh Jaya seperti yang terjadi di Desa Alue Meuraksa, Kecamatan Teunom yang menduga tanah desa masuk dalam Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kawasan eks Transmigrasi seluas sekitar 335 hektare telah diperjualbelikan jadi jebakan mafia tanah.
Hal tersebut seperti yang pernah diberitakan oleh media ISUPUBLIK.ID dalam dua hari terakhir yang memberitakan terkait kasus jual beli tanah ke salah satu pengusaha dari Meulaboh, Aceh Barat.
Kasus ini ikut menyeret nama Kepala Desa (Keuchik) setempat yang dituding menjual lahan secara diam-diam kepada pihak luar. Warga baru mengetahui adanya penjualan setelah tim dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) turun ke lokasi melakukan pengukuran.
“Kami merasa dibohongi. Tidak pernah ada musyawarah, tiba-tiba tanah desa sudah dijual. Ini seperti jebakan Batman—diam-diam dijual, baru ketahuan saat sudah berpindah tangan,” ujar Junaidi, pemuda desa Alue Meuraksa saat itu, Jum’at (18/7/2025).
Adanya pemberitaan kasus tersebut, Keuchik Syafruddin saat itu ikut membantah tuduhan yang dilayangkan oleh segelintir warga. Ia menyatakan bahwa tanah yang dijual adalah milik warga yang telah memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT), dan dirinya hanya membantu proses administrasi.
“Saya tidak menjual tanah desa. Semua tanah itu punya warga dan mereka yang menjualnya. Saya hanya penghubung,” jelasnya.
Namun warga menilai dalih tersebut tidak masuk akal, mengingat luas lahan dan nilai transaksi yang signifikan, serta minimnya informasi kepada masyarakat.
Bahkan terbongkar kasus itu darii laporan warga, Wakil Ketua DPRK Aceh Jaya, Irwanto NP ikut bersuara, ia meminta Pemkab menonaktifkan sementara Keuchik Syafruddin untuk mempermudah proses hukum.
“Ini masalah serius. Untuk menjaga netralitas penyelidikan, kami minta Keuchik dinonaktifkan sementara,” katanya.
Sementara itu, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) menilai kasus ini sebagai bagian dari pola sistematis penyalahgunaan lahan transmigrasi di Aceh Jaya. YARA mendesak pemerintah dan aparat hukum melakukan audit menyeluruh terhadap SKT dan surat sporadik yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir.
“Kami menduga banyak lahan negara dijual diam-diam oleh oknum melalui dokumen administrasi yang tampak legal. Ini harus dihentikan,” tegas perwakilan YARA Aceh Jaya.
Hal serupa dari tanggapan Pemkab Aceh Jaya, Bupati Safwandi, menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten tidak pernah menginstruksikan pelepasan lahan transmigrasi untuk dijual kepada pihak lain dari Kepala Desa bersangkutan.
“Jika ada oknum yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, silakan diproses hukum. Pemerintah daerah mendukung penuh penegakan hukum,” ujar Safwandi dalam keterangannya.
Kasus ini menyoroti dugaan praktik mafia tanah di kawasan HPL transmigrasi, dengan modus penerbitan SKT atau surat sporadik di atas lahan negara. Dokumen legal digunakan untuk melegitimasi penjualan yang pada dasarnya melanggar hukum, sementara masyarakat pemilik hak justru terpinggirkan.
Adanya pengungkapan kasus jual beli tanah yang diduga masuk kawasan HPL jadi jebakan Batman bagi mafia tanah di Aceh Jaya, masyarakat kini menuntut penyelidikan menyeluruh atas dugaan mafia tanah, yang diduga melibatkan lebih dari satu desa dan sejumlah oknum.()
Tim Redaksi ISUPUBLIK.ID
Pewarta : Redaksi
Komentar