ISUPUBLIK.ID – Di balik lebatnya hutan Aceh Jaya, satu demi satu izin tambang mulai diterbitkan. Dalam diam, kawasan yang selama ini menjadi benteng keanekaragaman hayati dan penopang hidup masyarakat adat mulai dibagi-bagi untuk kepentingan eksploitasi.
Investigasi ISUPUBLIK.ID mengungkap bahwa hingga 14 Mei 2025, 16 perusahaan telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk komoditas mineral dan batubara di Aceh Jaya. Namun sebagian besar perusahaan tersebut masih menyimpan banyak tanda tanya: tidak ada informasi publik yang jelas, belum menunjukkan aktivitas di lapangan, dan nyaris tanpa pengawasan dari pemerintah.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Jaya menunjukkan lonjakan signifikan penerbitan izin tambang di enam kecamatan: Sampoiniet, Panga, Krueng Sabee, Teunom, Pasie Raya, dan Indra Jaya. Setiap perusahaan menguasai area antara 2.000 hingga hampir 5.000 hektare, dengan total luas lahan konsesi mencapai 39.992,07 hektare — setara dengan hampir 56.000 lapangan sepak bola.
16 perusahaan itu baru berada pada tahap eksplorasi, bukan produksi sehingga pihak perusahaan cuma dalam tahap pengambilan sampel pada lokasi yang sudah diberikan izin.
“Begitu IUP eksplorasi diterbitkan, perusahaan sah secara hukum menguasai lahan untuk melakukan kegiatan eksplorasi,” ujar seorang pejabat DPMPTSP Aceh Jaya.
Berikut Daftar 16 perusahaan yang akan mengelola hutan Aceh Jaya untuk lokasi pertambangan:

Data 16 Perusahaan pertambangan yang telah mengkantongi izin usaha pertambangan(IUP) untuk mengelola komoditas mineral dan batu bara di Aceh Jaya.(Foto-Isupublik.id)
Dari 16 perusahaan, 10 menargetkan emas, 4 mengincar batubara, satu untuk bijih besi, dan satu lagi untuk galena/timah hitam. Perusahaan-perusahaan tersebut seperti PT. Nahrw Atbah Sejahtera (4.978 ha), PT. Tambang Emas Aceh Jaya (4.461 ha), dan PT. Bumi Mulya Energi (4.469 ha) menjadi yang paling luas wilayah konsesinya.
Lokasi-lokasi tambang ini sebagian besar berada di hutan produksi, dekat pemukiman warga dan kawasan hutan lindung. Gampong-gampong seperti Panggong, Curek, Batee Meutudong, Ie Jeureungeh, dan Bintah termasuk dalam peta konsesi.
Untuk diketahui, Aceh Jaya sendiri merupakan wilayah rawan banjir bandang. Masuknya pertambangan memperbesar risiko kerusakan ekologis dan hilangnya fungsi kawasan sebagai sumber air dan pertanian rakyat.
Meskipun aktivitas eksplorasi belum terlihat nyata di lapangan, kepemilikan IUP tetap memberikan kontrol atas lahan. Ini membuka kemungkinan terjadinya:
– Spekulasi lahan (land banking)
– Perdagangan izin di balik layar
– Konflik lahan dengan warga lokal
“Kami khawatir IUP hanya dijadikan alat untuk mengunci lahan. Tidak ada aktivitas, tapi wilayah sudah diklaim milik perusahaan,” ujar seorang aktivis lingkungan di Aceh Jaya.
Pengawasan terhadap pemegang IUP sejauh ini nyaris tidak terdengar. Tidak ada laporan publik terkait:
– Evaluasi rutin atas izin
– Audit lingkungan
– Sanksi bagi perusahaan yang tidak aktif
Dalam hal ini, Pemerintah daerah terkesan hanya berperan sebagai penerbit izin, tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
Jika tidak segera dievaluasi, Aceh Jaya berisiko menjadi wilayah tambang tidur — kawasan yang dikunci atas nama tambang, namun tidak menghasilkan apa-apa selain konflik, kerusakan ekologis, dan hilangnya akses rakyat terhadap sumber daya.
Transparansi penuh atas dokumen perizinan, pemilik manfaat (beneficial ownership), dan status lapangan mutlak dibuka untuk publik. Audit menyeluruh terhadap 16 perusahaan tambang di Aceh Jaya harus segera dilakukan.
Tim investigasi ISUPUBLIK.ID tengah melacak lebih dalam:
– Profil perusahaan
– Pemilik dan afiliasi politiknya
– Dampak sosial-ekologis yang sudah terjadi
Jika Anda memiliki informasi tambahan, data lapangan, atau pengalaman langsung terkait aktivitas tambang di Aceh Jaya, kirimkan ke redaksi melalui kanal pengaduan kami.
Aceh Jaya sedang berada di persimpangan. Hari ini eksplorasi, besok bisa menjadi eksploitasi tak terkendali — kecuali kita bertindak sekarang()
Pewarta : Redaksi
Komentar