Oleh Tim ISUPUBLIK.ID
Sudah lebih dari satu tahun sejak nama PT Barajaya Aceh Jaya diperkenalkan ke publik sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang digadang-gadang akan menjadi tulang punggung kemandirian pangan lokal. Harapan begitu besar diletakkan di pundaknya: meningkatkan nilai tambah pertanian lokal, memperkuat ekonomi petani, hingga menghadirkan beras lokal bermerek sendiri di pasar.
Namun, kenyataan hari ini jauh dari ekspektasi. Publik belum pernah melihat satu pun produk beras “Barajaya” yang benar-benar berasal dari sawah petani Aceh Jaya. Yang sempat beredar justru beras dari luar daerah dengan label “Tangse”—ironis, karena alih-alih memperkuat produksi lokal, malah menambah ketergantungan pada daerah lain.
Ini bukan sekadar soal manajemen produksi. Ini adalah krisis kepercayaan.Masyarakat mulai bertanya-tanya: untuk apa BUMD ini dibentuk, jika tak mampu mengelola potensi yang sudah begitu besar di depan mata?
Aceh Jaya bukan daerah yang kekurangan modal. Lahan subur terbentang, petani aktif bekerja, dan hasil panen cukup melimpah. Sayangnya, semua potensi itu belum terkonversi menjadi sistem produksi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Alat produksi mandek. Jalur distribusi tak jelas. Brand lokal tak kunjung hadir. Proyek ini, jika tidak dibenahi, hanya akan menjadi deretan formalitas yang menyedot anggaran namun minim manfaat nyata.
Kami memahami bahwa membangun ekosistem pangan tidaklah mudah. Tapi setelah waktu berjalan cukup panjang tanpa kejelasan arah dan hasil, wajar jika masyarakat mempertanyakan keseriusan semua pihak yang terlibat, dari manajemen PT Barajaya hingga pengambil kebijakan di tingkat daerah.
Lalu, di mana suara Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya hari ini?
Masa itu, Pj. Bupati Aceh Jaya, Nurdin, memang sempat meninjau kilang padi di Gampong Timpleung . Ia menyampaikan harapan dan optimisme atas kolaborasi antara petani dan PT Barajaya. Tapi sampai hari ini, masyarakat masih belum melihat realisasinya di pasar. Berharap tanpa eksekusi hanya melahirkan kekecewaan.
Opini kami sederhana: keterbukaan adalah langkah awal pemulihan kepercayaan. PT Barajaya harus membuka data dan informasi secara rutin kepada publik: sejauh mana progres, apa saja kendalanya, dan apa langkah strategis ke depan. Pemerintah daerah juga tidak bisa terus berdiri di belakang layar. Sudah waktunya turun tangan secara aktif dan memastikan bahwa BUMD ini bukan sekadar papan nama, tapi benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi lokal.
Jika tidak, maka “Barajaya” hanya akan menjadi label kosong. Dicetak di karung, tapi tak pernah sampai ke meja makan rakyat. Lebih dari itu, akan menjadi preseden buruk bagi BUMD lain: bahwa gagasan kemandirian pangan bisa gagal hanya karena buruknya perencanaan dan absennya kemauan politik.
Aceh Jaya tidak kekurangan potensi. Yang kurang adalah komitmen dan profesionalisme.
Kini ceh Jaya memasuki babak baru kepemimpinan di bawah duet Salem — Safwandi dan Muslem — sebagai Bupati dan Wakil Bupati hasil pilihan rakyat. Nama “Salem” mungkin masih hangat di telinga publik, tetapi gelombang ekspektasi dan skeptisisme sudah lebih dulu datang menyambut.
Apakah Salem hanya akan menjadi penguasa berikutnya yang lihai dalam pencitraan, atau pemimpin sejati yang hadir dalam kerja nyata?
Proyek PT Barajaya adalah ujian konkret yang tak bisa lagi ditunda. Selama ini, badan usaha daerah itu hanya menjadi simbol dari ketidaksiapan, ketidakjelasan, dan mungkin juga ketidakpedulian. Beras lokal yang dijanjikan tak kunjung hadir di pasar.
Sementara petani terus berjibaku di sawah, hasil panen mereka tetap bergantung pada tengkulak dan harga yang tak menentu. Bukankah sudah cukup lama rakyat menanti kemandirian pangan hanya sebagai wacana?
Kini saatnya Salem bertindak. Tak ada waktu untuk menyalahkan masa lalu. Sebagai pemimpin yang lahir dari proses demokrasi, Safwandi dan Muslem memikul mandat yang berat: membenahi warisan stagnasi dan menjadikannya lompatan perubahan. Jika mereka benar-benar berpihak pada rakyat, maka Barajaya harus dibenahi — bukan dengan seminar dan seremoni, tetapi dengan langkah tegas dan terukur.
Ya, akan selalu ada yang membenci. Ada yang sinis. Itu harga dari jabatan publik. Tapi yang paling penting bukan soal siapa yang mencibir, melainkan apa yang bisa dijawab kepada rakyat dalam bentuk hasil.
Bukan janji. Hari ini, rakyat menunggu bukan untuk mendengar pidato, tapi untuk melihat beras Barajaya di pasar. Untuk melihat petani lokal tersenyum karena panennya dihargai. Untuk melihat mesin-mesin pertanian yang benar-benar beroperasi. Untuk melihat Aceh Jaya tidak lagi menjadi penonton di tanahnya sendiri.
Opini ini bukan bentuk pesimisme. Justru sebaliknya: ini adalah alarm harapan. Karena kami percaya, pemimpin diuji bukan di saat kampanye, tetapi di saat ia diberi kuasa untuk bekerja.
Jika Salem bisa menjawabnya dengan keberanian, ketegasan, dan keberpihakan pada rakyat kecil, maka sejarah akan mencatat mereka sebagai pemimpin yang berbeda. Tapi jika tidak, maka nama mereka akan tenggelam bersama daftar panjang pemimpin yang lupa pada janji.
Isupublik.id – Bicara Berdasarkan Fakta, Bergerak Bersama Publik.
Pewarta : Redaksi
Komentar