Oleh: Redaksi ISUPUBLIK.ID
PT Barajaya Perseroda seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi Aceh Jaya. Didirikan sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), entitas ini diharapkan mampu menjadi lengan bisnis pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun, realitasnya jauh dari harapan. Dalam beberapa tahun terakhir, PT Barajaya justru menjadi simbol stagnasi, bahkan kegagalan kelembagaan. Kritik datang silih berganti—dari mahasiswa, LSM, hingga tokoh politik. Semua satu suara: keberadaan BUMD ini lebih banyak membebani APBK ketimbang memberikan manfaat.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa awal pembentukan PT Barajaya diliputi optimisme. Pemerintah kala itu menyuntikkan modal dengan harapan dapat membuka lapangan kerja, mengelola potensi sumber daya alam, serta menumbuhkan PAD secara signifikan. Tapi hingga kini, manfaat yang dijanjikan itu tak kunjung tampak.
Laporan keuangan tak terbuka. Kegiatan usaha tak jelas. Arah bisnis seperti tanpa kompas. Bahkan, tak sedikit yang menilai PT Barajaya sekadar menjadi “pos anggaran” tahunan—eksis dalam struktur, tapi nihil kontribusi.
Yang paling keras bersuara belakangan ini adalah mahasiswa IPELMAJA Meulaboh dan lembaga seperti YARA. Mereka menyuarakan keresahan publik secara terbuka. Wakil Bupati terpilih, Muslem D, bahkan dengan lantang menyebut bahwa tak ada tempat bagi BUMD yang hanya menguras APBK tanpa memberi nilai balik. Ini bukan sekadar retorika, tapi sinyal keras akan adanya perubahan.
Kini, masa depan PT Barajaya berada di tangan kepemimpinan baru, pasangan Safwandi–Muslem (Salem). Dan di hadapan mereka, terbentang dua pilihan besar: menyelamatkan atau mengakhirinya.
Itu berarti pemerintah harus melakukan audit menyeluruh: bukan hanya finansial, tapi juga menyangkut efektivitas struktur organisasi, sumber daya manusia, dan potensi bisnis yang relevan. Setelah itu, perlu pembenahan besar-besaran: dari struktur, manajemen, hingga visi bisnis. Jika memang masih ada harapan, maka reformasi total harus dilakukan, tanpa kompromi dan tanpa ruang bagi kepentingan politik.
Dan ini bukan aib. Justru bisa menjadi langkah berani yang mencerminkan keberpihakan kepada efisiensi anggaran. Di tengah kebutuhan besar untuk membiayai PORA XVII 2026, memperbaiki layanan pendidikan, air bersih, hingga infrastruktur dasar—maka mempertahankan lembaga yang tidak produktif sama saja dengan menambah beban rakyat.
Apakah Salem akan tegas mengambil langkah berani? Apakah PT Barajaya akan menjadi proyek pemulihan yang membanggakan, atau justru ditutup dengan penuh tanggung jawab? Pertanyaan-pertanyaan ini kini menggantung di benak masyarakat Aceh Jaya.
Yang pasti, publik menanti lebih dari sekadar pernyataan. Mereka menunggu tindakan konkret. Jika PT Barajaya diselamatkan, maka hasilnya harus bisa dilihat dan diukur. Jika dibubarkan, maka alasannya harus terbuka dan rasional.
Sejarah selalu mengingat para pemimpin bukan dari banyaknya yang mereka janjikan, tapi dari keputusan sulit yang mereka ambil demi kebaikan bersama.
Dan di titik ini, nasib PT Barajaya bukan hanya tentang satu perusahaan daerah. Ia adalah cermin dari keberanian, integritas, dan prioritas pemerintahan Salem.
Isupublik.id – Ruang Suara Rakyat.
Pewarta : Redaksi
Komentar