ISUPUBLIK.ID — Krisis lingkungan di Aceh Jaya kian memprihatinkan. Kawanan gajah liar kembali memasuki kebun-kebun warga, sebuah fenomena yang makin sering terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Peristiwa ini tak lagi bisa dianggap sebagai insiden biasa, tetapi menjadi sinyal serius dari rusaknya habitat satwa liar akibat deforestasi dan maraknya tambang ilegal.
Kondisi ini mencerminkan lemahnya peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam mengendalikan kerusakan lingkungan akibat deforestasi serta minimnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, serta pemberian izin tambang dalam skala besar mempercepat laju kehancuran hutan yang selama ini menjadi rumah bagi satwa seperti gajah Sumatra.
Hutan yang berubah menjadi perkebunan dan area tambang membuat gajah kehilangan habitat alaminya. Akibatnya, mereka terpaksa turun gunung dan berkonflik langsung dengan masyarakat.
“Ironisnya, saat konflik manusia dan satwa semakin meningkat, praktik tambang ilegal justru terus berlangsung tanpa hambatan. Ekskavator masih beroperasi di kawasan hutan, mencemari sungai dan merusak ekosistem secara terang-terangan,” kata seorang warga Aceh Jaya, Candra Gunawan, kepada ISUPUBLIK.ID, Selasa (24/6/2025).
Ia menyebut pemerintah terkesan tutup mata terhadap aktivitas tambang ilegal. Bahkan, tambahnya, pemberian izin usaha pertambangan (IUP) oleh DPMTSP di Aceh Jaya juga terus meluas.
“Ditambah lagi dengan izin-izin tambang yang begitu luas, ini jelas menunjukkan bahwa ada kepentingan besar yang mengorbankan lingkungan dan masa depan kami,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh, total luas IUP eksplorasi yang telah dikeluarkan di Aceh Jaya mencapai puluhan ribu hektare. Bahkan, jika seluruh rencana izin disahkan, luasan tambang diperkirakan bisa menembus 40.000 hektare atau hampir 25 persen dari total wilayah kabupaten.
Kondisi ini tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup gajah dan satwa lainnya, tetapi juga mengancam manusia. Sungai yang tercemar, risiko longsor, banjir bandang, serta hilangnya sumber air bersih adalah dampak nyata yang mulai dirasakan warga.
Padahal, Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang secara tegas melarang perusakan lingkungan, seperti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sayangnya, implementasi di lapangan dinilai lemah dan penuh kepentingan.
Warga bersama elemen masyarakat sipil kini mendesak pemerintah untuk segera bertindak diantaranya: Penindakan tegas terhadap tambang ilegal dan pihak-pihak yang terlibat; Moratorium menyeluruh terhadap izin tambang baru yang mengancam hutan; Peningkatan kapasitas dan anggaran untuk pengawasan lingkungan; Serta pemulihan ekosistem yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Jika tidak segera ada langkah konkret dari pemerintah, warga memperingatkan bahwa Aceh Jaya terancam menghadapi bencana ekologis berkepanjangan yang berdampak pada lingkungan, ekonomi, bahkan identitas budaya masyarakatnya.()
Komentar