ISUPUBLIK.ID – Masuknya aktivitas pertambangan besar ke dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Aceh Jaya menuai sorotan tajam. Pemerintah daerah dinilai melakukan pembiaran terhadap eksploitasi tambang yang berpotensi merusak kawasan lindung dan merugikan masyarakat lokal.
Salah satu pegiat lingkungan yang juga mantan aktivis mahasiswa, Chandra Gunawan melalui pers rilis ke isupublik.id, dijelaskan kegiatan pertambangan tersebut merupakan bentuk kejahatan ekologis yang dilegalkan oleh lemahnya pengawasan pemerintah, di saat masyarakat lokal justru diperlakukan tidak adil.
“Warga yang bertambang secara tradisional dianggap ilegal, diintimidasi, bahkan dijadikan kambing hitam atas kerusakan lingkungan. Sementara korporasi besar difasilitasi masuk ke hutan,” ujar Candra B. Gunawan, pegiat advokasi rakyat dan mantan aktivis mahasiswa Aceh Jaya, minggu, (15/6/2025).
Candra juga menyebut, ada indikasi pelanggaran hukum dalam proses perizinan yang diberikan kepada sejumlah perusahaan tambang yang kini beroperasi di kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Aceh Jaya.
Ia mengatakan, merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap kegiatan yang berdampak besar terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan persetujuan lingkungan terlebih dahulu sebelum dimulai.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, beberapa kegiatan tambang telah berlangsung sebelum dokumen Amdal tersedia atau terbuka untuk publik.
Selain itu, kawasan yang dimasuki tambang berdasarkan Peta Kawasan Hutan Aceh Tahun 2024 termasuk dalam kategori hutan lindung dan hutan produksi terbatas, yang secara hukum hanya dapat dimanfaatkan dengan izin khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Di sisi lain, masyarakat yang mengajukan permohonan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, hingga kini tidak mendapat tanggapan.
“Pemerintah Aceh Jaya tidak mengalokasikan satu pun wilayah WPR. Usulan dari desa-desa hanya dijawab dengan diam dan birokrasi yang berbelit-belit,” tambah Candra.
Atas kondisi ini, ia meminta segera dilakukan tindakan sebelum pertambangan meluas di hutan Aceh Jaya seperti Moratorium total terhadap seluruh kegiatan tambang di kawasan hutan Aceh Jaya, penetapan WPR segera untuk desa-desa yang telah mengajukan permohonan secara resmi.
Selanjutnya Audit dan penyidikan hukum terhadap seluruh izin tambang yang berpotensi melanggar aturan lingkungan dan kehutanan dan pembentukan Pansus Tambang oleh DPRK Aceh Jaya untuk menyelidiki proses perizinan dan potensi konflik kepentingan.
Situasi ini memperkuat kritik bahwa pemerintah lebih berpihak kepada kepentingan modal daripada melindungi hak hidup masyarakat lokal dan keberlanjutan lingkungan. Rakyat Aceh Jaya kini mempertanyakan: untuk siapa sebenarnya tanah ini dijaga.
“ ini ada aroma kongkalikong dalam penerbitan izin tambang ini. Jika tidak diselidiki secara serius, ini bisa menjadi bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi dan hak rakyat atas tanahnya sendiri,” tegas Candra. ()
Pewarta : Musliadi
Komentar