ISUPUBLIK.ID – Masuknya 16 perusahaan tambang ke kawasan hutan Kabupaten Aceh Jaya menjadi tanda tanya besar bagi masa depan lingkungan hidup dan keberlanjutan wilayah ini. Di balik lembaran izin eksplorasi yang tampak legal, tersimpan potensi kerusakan ekologis yang dapat berlangsung secara sistematis, bahkan tanpa banyak disadari publik.
Aceh Jaya bukan hanya wilayah administratif. Ia merupakan ruang hidup bagi ribuan hektare hutan tropis yang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat adat, petani, nelayan, dan satwa endemik. Hutan di sini juga menjadi sumber air bersih bagi desa-desa dari Teunom hingga Sampoiniet.
Namun semua itu kini berada dalam ancaman nyata.
Dari data yang diperoleh redaksi, setidaknya ada 16 perusahaan yang telah mengantongi izin tambang. Mayoritas tidak memiliki rekam jejak yang transparan. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius: atas nama siapa izin-izin ini dikeluarkan? Untuk siapa keuntungan dituju? Dan di mana posisi pemerintah daerah dalam melindungi ruang hidup warganya?
Kita perlu belajar dari pengalaman daerah lain. Pulau Gag di Papua Barat menjadi contoh tragis bagaimana investasi pertambangan bisa menghancurkan tatanan sosial-ekologis. Ekosistem rusak, masyarakat adat tersingkir, dan identitas wilayah terkikis. Apakah Aceh Jaya akan menjadi kisah berikutnya?
Opini publik perlu digugah: ini bukan sekadar soal ekonomi, melainkan soal pilihan arah pembangunan. Apakah kita akan terus mempertahankan hutan sebagai penyangga kehidupan, atau menyerah pada pola eksploitasi lama yang kerap menyisakan konflik dan kerusakan?
Pemerintah Aceh Jaya, DPRK, tokoh adat, lembaga lingkungan, hingga aparat penegak hukum harus tampil bertanggung jawab. Setiap perusahaan yang masuk perlu diawasi ketat. Transparansi dan partisipasi publik dalam setiap proses perizinan juga wajib ditegakkan.
Dampak dari eksploitasi tambang tidak selalu terlihat dalam waktu dekat. Namun ketika ekosistem rusak dan bencana datang, penyesalan sudah tidak lagi berguna. Kita tahu bahwa janji kesejahteraan dari industri ekstraktif tidak selalu terbukti. Banyak contoh menunjukkan bahwa justru masyarakat sekitar tambang tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan kehilangan ruang hidupnya.
Aceh Jaya masih punya kesempatan untuk bersikap. Tapi waktunya tidak banyak.
“Akankah Aceh Jaya menjadi Pulau Gag berikutnya? Wallahu a’lam.”
Penulis: Redaksi ISUPUBLIK.ID – (mohon maaf bila opini ini tidak sebagus penulis lain, dan siap dikoreksi)
Pewarta : Redaksi
Komentar